OPINI: Media Sosial, Konten Penghinaan Suku, dan Ancaman Pidana Bagi Pelakunya

Berita Utama, Opini3149 Dilihat

Media sosial telah menjadi sarana komunikasi yang sangat positif dalam kehidupan kita saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi informasi telah memberikan akses mudah dan cepat ke platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan banyak lagi. Melalui media sosial, orang-orang dari seluruh dunia dapat terhubung satu sama lain, berbagi cerita, pengalaman, ide, dan pandangan mereka dengan mudah. Salah satu aspek positif dari media sosial adalah kemampuannya untuk memperluas jaringan sosial. Media sosial memungkinkan kita terhubung dengan teman dan keluarga yang jauh, mengurangi jarak geografis dan menjaga hubungan yang kuat. Kita dapat dengan mudah berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki minat dan hobi yang sama, membentuk komunitas online yang mendukung dan memberikan inspirasi. Misalnya, seseorang yang tertarik dengan fotografi dapat bergabung dengan grup fotografi di media sosial dan berbagi foto serta tips dengan sesama penggemar.

Selain itu, media sosial juga memainkan peran penting dalam menghadirkan kesadaran sosial. Banyak kampanye amal, gerakan sosial, dan upaya kemanusiaan yang menggunakan media sosial sebagai alat untuk mencapai jangkauan yang lebih luas. Informasi tentang masalah-masalah sosial, seperti lingkungan, kesehatan mental, dan kemiskinan, dapat dengan mudah disebarkan dan menarik perhatian masyarakat melalui media sosial. Ini memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam diskusi, mendukung penyebab yang mereka pedulikan, dan berkontribusi pada perubahan positif.

Media sosial juga memberikan platform bagi individu untuk mengekspresikan diri dan menciptakan konten kreatif. Fotografi, seni, tulisan, musik, dan video dapat dibagikan dengan mudah melalui media sosial, memberikan kesempatan bagi individu untuk menunjukkan bakat mereka kepada dunia. Ini juga membuka pintu bagi kolaborasi dan pertukaran budaya yang lebih luas, membawa keberagaman dan pemahaman yang lebih baik di antara individu dari latar belakang yang berbeda. Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan media sosial yang positif juga harus seimbang dengan kesadaran tentang efek negatifnya.

Salah satu aspek negatif dari media sosial adalah adanya masalah privasi dan keamanan. Banyak pengguna yang tidak menyadari betapa pentingnya menjaga privasi mereka di platform media sosial. Informasi pribadi yang diposting secara terbuka dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, adanya risiko penipuan, peretasan akun, dan penyebaran informasi palsu juga menjadi ancaman nyata yang seringkali muncul melalui media sosial.

Media sosial juga dapat menjadi tempat bagi perilaku negatif seperti intimidasi dan pelecehan. Anonimitas yang ditawarkan oleh media sosial dapat memicu orang-orang untuk menyebarkan kebencian, meremehkan orang lain, atau melakukan tindakan cyberbullying. Ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental individu yang menjadi korban, dengan potensi meningkatkan tingkat stres, depresi, dan bahkan memicu pikiran untuk bunuh diri.

Media sosial juga dapat memperkuat persepsi yang tidak realistis tentang kehidupan. Banyak pengguna media sosial cenderung memamerkan sisi terbaik dari kehidupan mereka, menciptakan kesan bahwa kehidupan mereka selalu sempurna dan tanpa masalah. Ini dapat memicu perasaan rendah diri, rasa tidak puas, dan ketidakpercayaan diri pada pengguna lain yang merasa tidak mampu mencapai standar yang ditetapkan oleh media sosial.

Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai pengguna media sosial untuk memiliki kesadaran yang lebih baik tentang penggunaan yang tepat dan bertanggung jawab. Kita perlu menjaga privasi kita, menghindari perilaku negatif seperti cyberbullying, dan tidak membandingkan kehidupan kita dengan citra yang diperlihatkan di media sosial. Selain itu, kita harus belajar untuk membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial, memberikan prioritas pada interaksi sosial langsung, dan mencari keseimbangan antara kehidupan online dan offline.

Beberapa bulan belakangan ini di Sulawesi Tenggara acapkali terjadi atau muncul konten yang isinya adalah penghinaan terhadap suku tertentu dari berbagai aspek. Dan yang masih hangat dibenak kita semua adalah penghinaan suku tolaki dalam sebuah karya ilmiah yang berujung proses hukum terhadap pelakunya. Belum juga tuntas proses hukum atas kasus ini, sekarang Kembali terjadi penghinaan suku yang kali ini korbannya adalah suku (masyarakat) Muna namun dengan sarana yang berbeda yaitu melalui media sosial.

Jika dicermati melalui pendekatan kriminologi munculnya konten penghinaan terhadap suatu suku ini bisa jadi didorong oleh beberapa faktor antara lain :

  1. Prasangka dan Stereotipe: Prasangka dan stereotipe negatif terhadap suku tertentu dapat mendorong seseorang untuk melakukan penghinaan di media sosial. Mereka mungkin percaya pada pandangan yang sempit dan menyebarkan kebencian berdasarkan asumsi yang salah tentang suku tersebut.
  2. Anonimitas dan Jarak: Media sosial dapat memberikan rasa anonimitas dan jarak fisik yang membuat orang merasa lebih leluasa untuk melakukan penghinaan. Mereka merasa bisa melakukannya tanpa terkena konsekuensi langsung atau pertanggungjawaban sosial.
  3. Ketidakpuasan atau Ketidakadilan: Beberapa individu mungkin menggunakan penghinaan suku sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap suatu kelompok tertentu yang mereka anggap bertanggung jawab atas masalah atau ketidakadilan yang mereka alami.
  4. Kelompok dan Identitas: Orang dapat tergabung dalam kelompok atau komunitas yang mendukung atau mendorong tindakan penghinaan terhadap suku tertentu. Identifikasi diri dengan kelompok tersebut dapat mempengaruhi sikap dan tindakan individu terhadap kelompok lain.
  5. Konflik Sosial atau Politik: Konflik sosial atau politik yang melibatkan perbedaan suku dapat memicu penghinaan di media sosial. Tensi dan ketegangan antara kelompok-kelompok dapat memperburuk retorika kebencian dan diskriminasi.
  6. Pengaruh Lingkungan dan Pengalaman: Lingkungan sosial dan pengalaman hidup seseorang dapat memengaruhi sikap mereka terhadap suku tertentu. Pengalaman pribadi, pengaruh keluarga, pendidikan, atau paparan terhadap narasi diskriminatif dapat mempengaruhi cara pandang dan perilaku seseorang.

 

Jika kita lihat dari sisi hukum positif sebetulnya konten yang mengandung unsur sara itu merupakan suatu kejahatan yang tergolong berat dan sensitive dalam kehidupan masyarakat, karena itu negara mengkriminalisasi perbuatan tersebut menjadi sebuah delik.

Ketentuan itu bisa kita lihat dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE: Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dapat dikenai sanksi pidana. Juga ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE: Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak memasukkan atau mentransmisikan konten yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik orang lain di media elektronik dapat dikenai sanksi pidana. Sanksi hukum yang dapat diterapkan dalam kasus-kasus penghinaan suku diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU ITE dapat dikenai sanksi pidana berupa penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.

Terhadap konten yang memuat penghinaan suku tertentu di Sulawesi tenggara ini mestinya kepolisian bisa melakukan langkah-langkah konkrit dan cepat agar tidak terjadi gesekan yang berkepanjangan yang dapat mengganggu ketertiban hidup masyarakat kota Kendari. Penting kiranya pihak kepolisian segera mengungkap dan menangkap pelakunya. Alat teknologi ciber yang dimiliki Polda Sulawesi Tenggara sudah sangat canggih untuk melacak akun media sosial jika memang itu adalah akun palsu.

Polda Sulawesi Tenggara bisa melakukan penelusuran melalui langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Penerimaan Laporan: Korban penghinaan suku di media sosial harus melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Mereka harus memberikan informasi yang lengkap dan akurat tentang kejadian, termasuk rincian tentang akun palsu yang digunakan untuk melakukan penghinaan.
  2. Penelusuran dan Identifikasi: Polisi akan melakukan penelusuran terhadap akun palsu yang dilaporkan. Mereka akan mencari tautan antara akun palsu tersebut dengan individu yang mungkin terlibat dalam tindakan penghinaan.
  3. Permintaan Data: Polisi dapat mengajukan permintaan kepada penyedia layanan media sosial untuk memperoleh data yang terkait dengan akun palsu tersebut. Hal ini dapat mencakup informasi pendaftaran akun, alamat IP, log aktivitas, atau data lain yang dapat membantu mengidentifikasi pelaku.
  4. Kerja Sama dengan Penyedia Layanan Media Sosial: Polisi dapat bekerja sama dengan penyedia layanan media sosial untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang akun palsu dan pengguna di baliknya. Penyedia layanan media sosial dapat membantu dalam menyediakan data dan bantuan teknis yang diperlukan untuk mengungkap identitas pelaku.
  5. Analisis Digital Forensik: Dalam kasus yang lebih kompleks, polisi dapat melibatkan tim ahli forensik digital untuk menganalisis jejak digital dan memperoleh bukti tambahan. Hal ini dapat melibatkan analisis metadata, jejak IP, atau analisis lainnya untuk mengumpulkan bukti yang kuat.
  6. Penangkapan dan Penuntutan: Jika polisi berhasil mengidentifikasi dan mengumpulkan cukup bukti, mereka dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku. Proses hukum kemudian akan berlanjut dengan penuntutan oleh jaksa dan peradilan di tingkat pengadilan.

Pada akhir tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa siapapun yang memahami hakikat hidup dalam keberagaman pasti mengutuk keras tindakan-tindakan penghinaan, pelecehan, diskriminatif, dominasi, serta hegemoni oleh suku tertentu kepada suku lain karena  itu dianggap sebagai tindakan yang merusak kesetaraan dan keadilan. Oleh karena itu kita semua tentu meminta pihak Kepolisian Sulawesi Tenggara untuk segera menuntaskan persoalan ini dengan cepat dan tepat, agar kondusifitas kehidupan bermasayarakat kembali normal dan hidup rukun dalam bingkai kebhinekaan dan persaudaraan. Selian itu perlu keterlibatan semua stakeholder agar isu-isu yang menyinggung sara untuk dilakukan edukasi secara bersama sama agar tidak terus terulang di Sulawesi Tenggara. Sekian dan Terima Kasih,

Follow Publikasi Kami di Google News: Klik Haluoleo News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *